Senin, 20 April 2009

Aku Berperang bukan untuk Umar, tapi untuk Rabb Umar


Khalid bin Walid adalah seorang pemberani dan memiliki wibawa militer yang langka, seringkali memimpin pertempuran-pertempuran dan memenangkannya sejak zaman Rasulullah SAW sampai pada pemerintahan Abu Bakar. Namun Umar tidak menyukai beberapa perangainya kemudian menganjurkan Abu Bakar untuk mencopot Khalid bin Walid dari jabatannya sebagai panglima. Abu Bakar tidak mengindahkannya, tapi Umar bersikukuh Khalid harus dicopot dari jabatannya, sehingga ketika menduduki kursi khalifah, Umar segera menarik Khalid dari jabatannya dan menjadikannya sebagai tentara biasa.
Saat itu Khalid bin Walid tengah bertempur di Ma’ma’ah dalam rangka menaklukkan Syam. Dan Abu Ubaidah menyampaikan surat dari Umar kepadanya agar ia meletakkan jabatannya. Sejumlah sahabat berkumpul di dalam tenda panglima mereka-Khalid, dan menyarankan kepadanya untuk tidak mematuhi perintah Umar. Namun Khalid berkata, “aku berperang bukan untuk Umar, tapi untuk Rabb Umar”. Maka jika sebelumnya Khalid berperang sebagai panglima, setelah itu ia berperang sebagai prajurit biasa.
Inilah salah satu karakter sahabat Rasulullah SAW yang sejarahnya tercatat dengan tinta emas bahwa mereka telah membuktikan perjuangannya kepada kita semua. Tak ada yang bisa memiliki kepribadian mulia seperti ini kecuali ia benar-benar mengikhlaskan dirinya di jalan Allah. Tetap berperang meskipun jabatannya sebagai panglima dicopot, menjauhkan diri dari perasaan benci dan iri dan sesuai kehendak Allah. Masih berkonsentrasi pada tujuan awalnya berperang seperti yang diamanahkan meski hanya berstatus sebagai prajurit biasa.
Bandingkanlah dengan perjuangan kita sekarang, sedikit tribulasi saja sudah membuat semangat kita untuk melaksanakan amanah dakwah yang diembankan di pundak kita menjadi menurun. Enggan untuk bekerja sama karena terpaku pada permasalahan internal. Tidak taat pada qiyadah hanya karena tidak menyukainya, merasa tidak nyaman bekerja dengannya. Melalaikan amanah yang diberikan pada kita hanya karena merasa pekerjaannya tidak dihargai. Baiknya kita merenungkan kembali apa saja kontribusi kita terhadap dakwah. Dan dari sekian banyak kontribusi itu (misalnya) apakah semua itu kita lakukan demi mengharapkan ridho Allah, ataukah hanya karena merasa bertanggung jawab pada qiyadah atau organisasi tempat kita mengemban amanh tersebut. Atau kita tetap mengerjakan amanah itu tapi dengan asal-asalan dan hati yang jengkel karena ditegur oleh qiyadah? Berapa banyak amanah dakwah ini kita kerjakan sebaik-baiknya dengan atau tanpa melihat siapa qiyadah kita, atau siapa partner kerja kita?
Tujukanlah aktivitas-aktivitas dakwah kita hanya pada Allah semata. Menurut kehendak Allah saja, bukan kehendak jiwa-jiwa rindu pujian yang senantiasa menuruti hawa nafsu belaka. Tetap istiqamah berjuang meski berbagai hal yang tidak mengenakkan menjadi teman sehari-hari. Melanjutkan gerak dakwah sesuai tujuan awal tanpa harus melihat dengan siapa kita bekerja dan sebagai apa kita bekerja. Sebab kita tak pernah tau pada aktivitas mana yang menyebabkan Allah mencintai kita. Dan Allah tidak hanya membalas kita karena hasil yang kita dapatkan tetapi lebih besar lagi pada proses yang kita jalankan.

Muadz bin Jabal meriwayatkan ketika beliau diutus oleh Rasulullah SAW ke Yaman, Ya Rasulullah, berilah pesan kepadaku. Lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Ikhlaskanlah agamamu, niscaya amal yang sedikitpun mencukupimu.” (Imam Hakim hadits shahihul Isnad)
“Dan sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat perbuatanmu, mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Infithar : 10-12)
“Dan tidaklah mereka diperintah melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama… (QS Al-Bayyinah :5)

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar demi BKMI yang lebih baik...